Lama banget nggak nelorin tulisan di blog gimana bisa dapet PA (page authority) mendekati 100, kalau ngeblog aja mood-moodan. Iya di draft masih banyak di otak juga masih banyak, lah tapi kok ngga nelor sih.
Akhirnya ini, ngeblog lagi. Kali ini tentang sharing pengalaman Workshop Cerpen Kompas. Sejak ikut organisasi kepenulisan FLP Malang, passion yang terpendam saat SD eh SMP, dimunculkan lagi. Terbiasa menggunakan otak kiri, saat ingin menghasilkan karya fiksi, otak kanan sepertinya sudah kaku sekali. Permainan gitar yang biasa kupetik (genjreng lebih tepatnya) rasanya juga tak mampu membuat otak kananku berkembang.
Alhasil, selalu ketawa saat dikritik karyanya karena terlalu otak kiri, kurang imajinatif, kurang dramatis, kurang berperasaan, kurang emosional lah intinya. Haha.
Awalnya sih mikir pesimis, mungkin nggak sih bersaing sama mereka? Maklum baru menyentuh dunia kepenulisan juga tahun kemarin. Bersaing sama orang-orang se jatim yang sudah punya pengalaman nulis lebih lama dan juga belajar karya sastra sudah lama.
Sampai beberapa hari menjelang batas terakhir pengumpulan, masih aja kurang ide. Bahkan galau, ikut apa nggak. Atas dorongan mbak wulan, ketua FLP malang, akhirnya ikut juga. Karya kukirim ke mbak wulan untuk dikoreksi sebelum dikirim ke panitia. Ada dua cerita, tentang albino di Afrika dan tentang gadis Tengger yang terjebak karena adat. Semua bukan teenlit loh ya, tapi tentang kebudayaan. Cerpen kedua aku buat saat hari H pengumpulan. Wew. Karya fiksi nggak bisa begitu sebenarnya. Ia butuh waktu dipendam sebelum akhirnya dipublikasi.
Setelah transfer biaya pendaftaran 25ribu, aku datang ke rumah mbak Wulan minta saran. Dan yah, lagi-lagi otak kiri banget katanya. Hahaha...
Setelah bertapa di depan laptop, jam 9 malam, cerpen Kabut Bromo ku akhirnya selesai. Dan well, aku kirim lah. Biarin deh kalau nggak lolos.
Keesokannya, coba cek email. Ada email masuk katanya aku lolos jadi peserta workshop. Hahahhaaa, itu respon pertama saat tahu aku lolos. Gimana nggak ketawa, bisa-bisanya karya itu layak. Yang jelas, kalau nggak karena mbak Wulan juga nggak mungkin bisa lolos. Trims mbak wul.
Sampai di perpus UM, panitia memberikan seminar kit gitu, goodie bag yang isinya topi dari kompas, blocknote, pulpen, kumpulan cerpen kompas pilihan 2014 juga baju yang harus dipakai saat itu juga, serta sekotak snack.
Acara pun dimulai, setelah sambutan-sambutan (dari sambutan aku tahu total pendaftar sekitar 70an) kemudian presentasi dari Bli Can. Diawali dengan permainan bahwa seluruh peserta memilih seorang peserta lain yang tidak dikenal dan melakukan percakapan, dan di akhir workshop menjelaskan tentang karakter lawan bicara. Setelah itu, Bli Can menjelaskan tentang sejarah rubrik cerpen Kompas dari dulu hingga sekarang. Terus ada grafik juga kecenderungan penulis mengirim cerpennya. Dari grafik itu bisa disimpulkan...
Tips mengirim cerpen ke koran Kompas:
Saat inti ini diisi langsung oleh cerpenis Kompas, Agus Noor. Ia mengungkapkan tips menulis berikut.
Beri sesuatu agar pembaca mempertanyakan, ada apa ini? Kira-kira orang lain tidak kepikiran. Selain itu, jangan terlalu terbawa perasaan dulu.
Selain itu, bisa juga diambil kata pungutan dari sobekan koran atau kata apapun yang ditemukan di jalan.
Bermain kata juga tidak gampang, saat kita menemukan kata-kata dalam sobekan kertas, maka kita harus merangkainya dengan kata sambungan seminim mungkin sehingga menjadi satu kalimat. Itu menguji keterampilan dan imajinasi kita.
Bahkan ketika kita melihat di sekeliling kita, misal batu, maka deskripsikan sesuatu yang tidak dipikirkan orang lain tentang batu, maka gampang sekali membuat karya fiksi (okeh, kapan aku praktekkan setelah ini?).
Dalam workshop ini juga dibagi menjadi beberapa kelompok, kemudian tiap kelompok melakukan observasi di sekitaran kampus UM atau kalau mungkin melakukan wawancara. Kemudian, tiap kelompok membuat karya cerpen sesuai hasil observasi yang dibaca oleh perwakilan kelompok saat didepan.
Sayangnya, saat kelompokku belum dibahas, waktu sudah mendekati pukul 5 sore, dan didalam perut rasanya sudah pengen pulang dan baring-baring.
Demikian berbagi kisah workshop Kompas 2015. Yang terpenting sih, smoga bisa mempraktekkan ilmunya dan bisa mempertanggungjawabkannya di akhirat nanti dan jangan sombong kalau udah jadi penulis. Apalagi jangan sampai lupa sama Yang Menciptakan kita karena berkat Dia, kita bisa bernafas dan menikmati karuniaNya (bahkan ketika menjadi penulis terkenal)...
Akhirnya ini, ngeblog lagi. Kali ini tentang sharing pengalaman Workshop Cerpen Kompas. Sejak ikut organisasi kepenulisan FLP Malang, passion yang terpendam saat SD eh SMP, dimunculkan lagi. Terbiasa menggunakan otak kiri, saat ingin menghasilkan karya fiksi, otak kanan sepertinya sudah kaku sekali. Permainan gitar yang biasa kupetik (genjreng lebih tepatnya) rasanya juga tak mampu membuat otak kananku berkembang.
Alhasil, selalu ketawa saat dikritik karyanya karena terlalu otak kiri, kurang imajinatif, kurang dramatis, kurang berperasaan, kurang emosional lah intinya. Haha.
Pendaftaran Workshop
Suatu ketika, dari grup FLP ada pengumuman Workshop Cerpen Kompas yang diselenggarakan Universitas Negeri Malang dan kerjasama dengan Kompas. Memang workshop ini sudah dilakukan di banyak kampus. Dan kali ini workshopnya diseleksi. 30 orang yang terpilih cerpennya berhak mengikuti workshop. Waktu itu,mikirnya pengen ikutan, biar tahu bagaimana sih style dan trik orang Kompas bikin cerita yang dianggap layak masuk Kompas. Karena yang datang langsung, cerpenis Kompas, Agus Noor dan juga editor Kompas, Putu Arcana.Awalnya sih mikir pesimis, mungkin nggak sih bersaing sama mereka? Maklum baru menyentuh dunia kepenulisan juga tahun kemarin. Bersaing sama orang-orang se jatim yang sudah punya pengalaman nulis lebih lama dan juga belajar karya sastra sudah lama.
Sampai beberapa hari menjelang batas terakhir pengumpulan, masih aja kurang ide. Bahkan galau, ikut apa nggak. Atas dorongan mbak wulan, ketua FLP malang, akhirnya ikut juga. Karya kukirim ke mbak wulan untuk dikoreksi sebelum dikirim ke panitia. Ada dua cerita, tentang albino di Afrika dan tentang gadis Tengger yang terjebak karena adat. Semua bukan teenlit loh ya, tapi tentang kebudayaan. Cerpen kedua aku buat saat hari H pengumpulan. Wew. Karya fiksi nggak bisa begitu sebenarnya. Ia butuh waktu dipendam sebelum akhirnya dipublikasi.
Setelah transfer biaya pendaftaran 25ribu, aku datang ke rumah mbak Wulan minta saran. Dan yah, lagi-lagi otak kiri banget katanya. Hahaha...
Setelah bertapa di depan laptop, jam 9 malam, cerpen Kabut Bromo ku akhirnya selesai. Dan well, aku kirim lah. Biarin deh kalau nggak lolos.
Pengumuman
Pengumumannya diundur sehari karena yang ikut mbludak, kata panitia via email dan sms. Baiklah, sainganku ternyata banyak.Keesokannya, coba cek email. Ada email masuk katanya aku lolos jadi peserta workshop. Hahahhaaa, itu respon pertama saat tahu aku lolos. Gimana nggak ketawa, bisa-bisanya karya itu layak. Yang jelas, kalau nggak karena mbak Wulan juga nggak mungkin bisa lolos. Trims mbak wul.
Workshop
Hari H workshop pun tiba. Emak-emak yang lagi bawa 1 kilo makhluk mungil di perutnya berharap semoga kuat sampai selesai. Kalaupun nggak, siap-siap minta jemput buat pulang. Workshop rencananya dari jam 9 sampe jam 5.Sampai di perpus UM, panitia memberikan seminar kit gitu, goodie bag yang isinya topi dari kompas, blocknote, pulpen, kumpulan cerpen kompas pilihan 2014 juga baju yang harus dipakai saat itu juga, serta sekotak snack.
Acara pun dimulai, setelah sambutan-sambutan (dari sambutan aku tahu total pendaftar sekitar 70an) kemudian presentasi dari Bli Can. Diawali dengan permainan bahwa seluruh peserta memilih seorang peserta lain yang tidak dikenal dan melakukan percakapan, dan di akhir workshop menjelaskan tentang karakter lawan bicara. Setelah itu, Bli Can menjelaskan tentang sejarah rubrik cerpen Kompas dari dulu hingga sekarang. Terus ada grafik juga kecenderungan penulis mengirim cerpennya. Dari grafik itu bisa disimpulkan...
Tips mengirim cerpen ke koran Kompas:
Jangan mengirim karya saat peak month
Sebenarnya agak susah disimpulkan karena dalam dua tahun jumlah pengirim cerpen yang cukup tinggi di akhir dan awal tahun, pertengahan juga. Tapi dalam satu tahun, kecenderungan penulis menurun di awal tahun. Entahlah. Mungkin kesimpulan sementara bahwa peak month nya di awal dan akhir tahun (setelah tulisan blog ini terpublish bisa jadi malah trend peak month nya berubah, bukan lagi awal dan akhir tahun, hehe). Dari situ juga kebayang, mungkin untuk rubrik opini juga gitu kali ya..Penulis yang sudah dikenal
Yang ini agak susah bersaingm karena saat kita mengirim karya dan saat itu ada penulis yang sudah dikenal kompas. Maka biasanya editor bakal memilih penulis yang sudah mereka kenal untuk dipublikasi.Inti Workshop
Yang jelas, aku termasuk peserta workshop pasif. Kenapa? Satu, aku bukan terlahir dari jurusan sastra. Dan aku baru saja mengenal dunia kepenulisan karya fiksi. Kedua, tentu ada ketidakpercayaan diri, biasanya persentasi tentang tata kota, sekarang kudu berkata-kata sastra. Ketiga, kaum pemerhati sepertiku hanya belajar dari mereka yang sudah lebih berpengalaman dariku.Saat inti ini diisi langsung oleh cerpenis Kompas, Agus Noor. Ia mengungkapkan tips menulis berikut.
Di awal kalimat, beri perspektif berbeda
Beliau memberi game untuk mendeksripsikan tentang ruang workshop. Bagi sebagian peserta workshop, menjadikan deskripsi ruang sebagai cerita inti yang singkat, padahal bisa dijadikan latar belakang dari cerita inti. Dan pemikiran Agus Noor memang agak beda.Beri sesuatu agar pembaca mempertanyakan, ada apa ini? Kira-kira orang lain tidak kepikiran. Selain itu, jangan terlalu terbawa perasaan dulu.
Cara temukan ide : bermain kata
Kadang ide susah ditemukan saat tangan ingin menulis. Ada trik yang bisa memancing ide yaitu dengan bermain kata. Sebutkan kata yang terlintas yang paing utama, kemudian tulis kata lain yang terlintas, tak perlu berkaitan. Biasanya hasil dari karya ini nggak pernah terpikirkan oleh orang.Selain itu, bisa juga diambil kata pungutan dari sobekan koran atau kata apapun yang ditemukan di jalan.
Bermain kata juga tidak gampang, saat kita menemukan kata-kata dalam sobekan kertas, maka kita harus merangkainya dengan kata sambungan seminim mungkin sehingga menjadi satu kalimat. Itu menguji keterampilan dan imajinasi kita.
Jika stuck?
Membuat karya fiksi penulis juga pernah mengalami kebuntuan (stuck), maka menurut Agus Noor caranya adalah mendengarkan kisah atau curhatan orang lain atau juga bertemu orang. Bisa jadi curhatan itu menjadi inspirasi.Bahkan ketika kita melihat di sekeliling kita, misal batu, maka deskripsikan sesuatu yang tidak dipikirkan orang lain tentang batu, maka gampang sekali membuat karya fiksi (okeh, kapan aku praktekkan setelah ini?).
Dalam workshop ini juga dibagi menjadi beberapa kelompok, kemudian tiap kelompok melakukan observasi di sekitaran kampus UM atau kalau mungkin melakukan wawancara. Kemudian, tiap kelompok membuat karya cerpen sesuai hasil observasi yang dibaca oleh perwakilan kelompok saat didepan.
Sayangnya, saat kelompokku belum dibahas, waktu sudah mendekati pukul 5 sore, dan didalam perut rasanya sudah pengen pulang dan baring-baring.
Demikian berbagi kisah workshop Kompas 2015. Yang terpenting sih, smoga bisa mempraktekkan ilmunya dan bisa mempertanggungjawabkannya di akhirat nanti dan jangan sombong kalau udah jadi penulis. Apalagi jangan sampai lupa sama Yang Menciptakan kita karena berkat Dia, kita bisa bernafas dan menikmati karuniaNya (bahkan ketika menjadi penulis terkenal)...