Dulu, mungkin begitu banyak orang tergiur mengikuti program transmigrasi ke luar Jawa. Iming-iming kemakmuran di pulau lain menjadi salah satu alasan mereka mengikuti transmigrasi. Kenyataannya, tidak semudah itu tinggal di pulau-pulau tujuan transmigrasi. Tak sedikit dari mereka, para penduduk Jawa, yang harus berjuang dari nol untuk menghidupi kebutuhan mereka.
Begitu juga yang terjadi pada penduduk desa Nusantara, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Daerah transmigrasi tersebut dinamakan sebagai Desa Nusantara karena perusahaan yang mengadakan pembukaan lahan dan pembangunan Kawasan Bernama PT. Nusantara.
Desa Nusantara Minim Fasilitas
Awalnya, mereka ditawarkan program transmigrasi ke desa tersebut. Sekitar 700 orang dari beberapa daerah di Pulau Jawa datang ke daerah asing tersebut. Bersyukur mereka mendapatkan rumah panggung sebagai tempat tinggal mereka. Drum tadah hujan disediakan untuk memenuhi kebutuhan akan air. Tak ada jalan aspal, listrik, fasilitas Kesehatan dan umum. Fasilitas benar-benar masih sangat terbatas. Ladang dua hektar yang bisa mereka olah untuk kebutuhan sehari-hari.
Panen Sering Gagal
Hasil pertanian tidak memberikan dampak signifikan pada mereka selama 1-2 tahun tinggal di sana. Bahkan tahun-tahun selanjutnya, sekitar 1983-1984, panen gagal akibat pertanian yang diserang hama. Tak hanya wereng dan tikus, hewan liar monyet, babi, gajah pun juga merusak lahan pertanian mereka. Bantuan pangan dari pemerintah datang hanya di waktu tertentu membuat mereka terus berupaya memanfaatkan lahan pertanian mereka.
Sawah di tanah gambut |
Karakteristik tanah, yaitu tanah Gambut, yang berbeda membuat mereka tak bisa menanam jenis tanaman seperti di Jawa. Mereka hanya bisa menanam jagung, singkong dan sukun.
Wabah Kolera
Beberapa bulan selanjutnya menjadi masa yang kelam bagi para transmigran desa Nusantara. Fasilitas air minum, limbah dan sampah rumah tangga yang tidak terfasilitasi dengan baik, serta lingkungan dan kesehatan yang buruk menyebabkan terjadinya wabah kolera di desa tersebut. Banyak warga yang meninggal akibat wabah.
Ketika bangkit dari keterpurukan…
Mereka bangkit dari keterpurukan setelah bantuan datang untuk mengatasi wabah yang terjadi. Memulai lagi membangun desa dari hasil pertanian. Meskipun panen pernah berhasil, namun tidak berlangsung lama karena padi tidak berkembang.
Ketika mereka sudah menanam padi, tanah mereka diintervensi oleh pihak-pihak yang menginginkan keuntungan lebih bagi korporasi. Sawah gambut yang sudah ditanam tidak mendapat pasokan air sebab orang-orang korporasi membuat parit dan menyekat air. Akibatnya, tanah sawah gambut menjadi kering dan mudah terbakar.
Masyarakat desa sampai melakukan perlawanan agar sawah gambut mereka tidak terjadi kebakaran. Semakin lama, lahan pertanian yang diberikan pada mereka saat masa orde baru tersebut mulai diintervensi. Rakyat tak punya hak atas tanah mereka sendiri. Tak ada partisipasi masyarakat dalam pembangunan lahan yang diperuntukkan sawit tersebut. Rakyat merasa kehilangan haknya.
Perkebunan Sawit |
Tekanan dari berbagai pihak semakin besar untuk memanfaatkan tanah yang sudah diberikan pada mereka sejak orde baru. Pada akhirnya terbentuklah Forum Petani Nusantara Bersatu (FNPB).
Forum Petani Nusantara Bersatu (FNPB)
FNPB merupakan wadah untuk menyalurkan aspirasi warga, menunjuk perwakilan saat mediasi dengan warga. Beberapa anggota bahkan ditangkap polisi karena melakukan aksi penolakan terhadap keberadaan perusahaan. Forum tersebut semakin besar dan tekanan dari perusahaan dan polisi berkurang Ketika mereka mulai mendapat aliansi yang lebih besar dan kuat.
FNPB perlu dukungan untuk mengembangkan desa mereka menjadi lebih baik. WALHI kemudian memberi saran pada FNPB untuk mengakses Dana Nusantara.
Dana Nusantara
Dana Nusantara merupakan sistem pendanaan yang dikembangkan oleh WALHI, KPA dan AMAN. Dana Nusantara sudah diimplementasikan pada 12 lokasi Wilayah Kelola Rakyat. Pengelolaan Dana Nusantara hanya difokuskan pada komunitas yang memiliki akses terbatas terhadap sumber daya dan pendanaan, serta memiliki potensi untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Dana Nusantara ini yang mendukung kegiatan :
- pemetaan partisipatif,
- dialog dengan para pihak,
- Menyusun rencana tata guna lahan,
- perawatan dan pengelolaan kebun,
- perluasan Wilayah Kelola Rakyat (WKR),
- mendukung inisiatif pengembangan ekonomi berbasis komunitas
- penerapan teknologi tepat guna.
Implementasi program Dana Nusantara mampu mengembangkan Desa Nusantara menjadi lebih baik seperti:
- Mendorong kemandirian lokal
- Meningkatkan partisipasi komunitas lokal dalam pengelolaan sumber daya alam
- Membangun kesadaran komunitas lokal terhadap isu lingkungan hidup
- Berkontribusi pada keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam
- Meningkatkan partisipasi dan dukungan dari berbagai pihak.
Intinya, WALHI memastikan Dana Nusantara berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan komunitas dengan memperjuangkan pengakuan dan perlindungan Wilayah Kelola Rakyat.
Sustainable land use planning (SLUP)
Dari Dana Nusantara inilah, Desa Nusantara bisa mengembangkan desanya berdasarkan potensi yang dimiliki daerah tersebut. Dalam perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan (sustainable land use planning), diperlukan peran partisipatif masyarakat lokal dalam proses perencanaannya. Praktiknya, metode bottom-up planning ini lebih efektif dilakukan pada wilayah-wilayah yang belum tahu akan kemanakah pembangunan desa tersebut dilaksanakan.
Jika pembangunan tidak memperhatikan potensi lokal maka bisa jadi pembangunan tidak berjalan efektif. Perencanaan akan berjalan sia-sia.
Perlunya perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan ini agar perencanaan yang dilakukan tidak merusak lingkungan, dan memperhatikan kelangsungan social ekonomi masyarakat yang tinggal di dalamnya.
Sebagai bagian dari metode bottom-up planning, maka dalam perencanaan tersebut harus dimulai dari tataran bawah atau lokal. Hal yang dilakukan adalah dengan melakukan pemetaan partisipatif. Sesuai dengan amanat UU No 6 Tahun 2014 tentang Kampung bahwa penetapan kebijakan di tingkat kampung akan didahulukan sehingga warga memiliki wewenang untuk merencanakan wilayah tempat tinggal mereka.
Pemetaan partisipatif
Pemetaan partisipatif ini bermanfaat bagi perencanaan pembangunan karena pengembang kebijakan jadi paham keinginan-keinginan masyarakat lokal, potensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Aspirasi masyarakat didengarkan dengan adanya pemetaan partisipatif karena masyarakat dianggap lebih paham dengan daerah mereka sendiri, seperti jenis tanaman, kondisi tanah, lanskap ekologis, penggunaan lahan, siklus tanam dan panen.
Masyarakat akan diminta mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang mereka ketahui selama tinggal di daerahnya. Melalui forum diskusi yang terpusat (Forum Group Discussion), kondisi wilayah tersebut dapat teridentifikasi baik masalah juga potensinya sehingga bisa dilakukan perencanaan kedepannya seperti apa.
Pemetaan partisipatif mampu melindungi wilayah mereka dari berbagai ancaman, mampu membantu mereka bernegosiasi dengan investor, dan menjadi masukan bagi pemerintah dalam penataan ruang.
Rencana Penggunaan Lahan Yang Membantu Menyelamatkan Masyarakat Desa Nusantara
Dari pemetaan partisipatif, maka fasilitator bisa membantu warga untuk Menyusun rencana tata guna lahan (TGL) di daerah mereka. Biasanya Rencana TGL ini memuat lokasi-lokasi pengembangan lahan permukiman, pertanian, perkebunan, hutan, hingga fasilitas perdagangan jasa dan social umum. Lebih spesifik, dalam lingkup desa, rencana penggunaan lahan bisa menentukan jenis tanaman apa yang ditanam, lahan mana yang diperbolehkan untuk dikelola dan tidak diperbolehkan untuk dikelola/diintervensi.
Dengan rencana TGL tersebut, masyarakat jadi mengenal desa mereka menjadi lebih baik sehingga membuat pemikiran mereka lebih berkembang. Masyarakat jadi tahu asset andalan perekonomian desa mereka yang bisa dikembangkan untuk memajukan desa mereka.
Meskipun sekarang masih terdapat konflik penggunaan lahan, mestinya rencana guna lahan yang juga menjadi turunan dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ogan Komering Ilir tidak menghasilkan konflik. Sayangnya, terkadang RTRW yang direvisi setiap lima tahun sekali membuat RTRW rawan disusupi kepentingan-kepentingan yang tidak berbasis komunitas lokal sehingga konflik di tingkat lokal kerap terjadi.
Harusnya, pemerintah maupun korporasi harus mematuhi rencana penggunaan lahan yang memiliki kekuatan hukum. Jika tidak, sanksi akan diberikan pada pelanggar rencana tersebut. Namun, jika perubahan RTRW hanya mengedepankan kepentingan investor, maka jelas saja, merusak segala hajat hidup masyarakat lokal. Hasilnya, lingkungan rusak karena tanpa memperhatikan kebutuhan lokal.
Seharusnya, masyarakat Desa Nusantara tertolong dengan adanya Rencana Penggunaan Lahan tersebut. Pembangunan bisa menjadi terarah dan dapat selaras dengan keseimbangan alam dalam jangka Panjang dan dapat mensejahterakan masyarakat yang bertumpu pada kekuatan ekonomi lokal. Harusnya pula, penerapan RTRW memperhatikan rencana TGL yang telah disusun oleh masyarakat tingkat lokal sebagai orang yang paham daerah tersebut aehingga masyarakat lokal tidak menjadi kaum termarjinalkan.
Komitmen Menjadi Desa Ekologis
Dengan metode SLUP, visi pembangunan Desa Nusantara dapat diketahui seperti visi jenis pengelolaan lahan berkelanjutan, teridentifikasinya tanaman prioritas yang akan dikembangkan. Anggota FNPB berkomitmen menjadikan desa nusantara menjadi Desa Ekologis yaitu desa yang memiliki kemampuan menopang keberlanjutan daya dukung lingkungan sebagai sumber pangan warga.
Pada akhirnya, komunitas lokal bisa menjadi bagian dari solusi permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi Indonesia, seperti kerusakan iklim, kerusakan hutan dan degradasi lingkungan. Arahan Desa Nusantara menjadi Desa Ekologis sudah tepat karena sudah dilakukan dengan tahapan perencanaan pembangunan daerah dari tingkat lokal. Itulah mengapa pemetaan partisipatif sangat penting untuk mengembangkan suatu daerah yang sesuai dengan karakteristik wilayahnya.