Bulan Oktober, Surabaya puwanas polll!
Saking panasnya, Surabaya sampai dijuluki Kota 9 Matahari!
Aku — seorang ibu rumah tangga di pinggiran kota Surabaya — baru saja menjemput anak pulang sekolah dengan setelan lengkap topi, masker, sarung tangan dan sepatu untuk melindungi diri dari panas matahari.
Di jalanan, aku seperti sedang di dalam oven. Panaasss.
Keringat menetes tanpa ampun meski aku hanya berdiri menunggu anakku keluar dari sekolahnya.
“Ih, panas banget, ya!” keluh seorang ibu-ibu wali murid yang juga menunggu anaknya dengan setelah lengkap sepertiku.
“Iya, rasanya umup,” balasku. Beliau hanya tertawa. Umup itu dalam bahasa Jawa seperti air yang direbus dan mendidih.
Seorang Ibu yang lain datang setelah memperkirakan motornya dengan wajah setengah terengah-engah. Wajahnya jelas menahan panas. Kemudian beliau mengeluhkan teriknya matahari.
Ibu yang lain datang dan mengeluhkan hal yang sama.
Kami semua, para ibu-ibu, yang menunggu ananda pulang sekolah berkumpul di bawah pohon blimbing wuluh, pohon satu-satunya di depan sekolah yang masih bisa dipakai untuk berteduh, mengeluhkan hal yang sama. Panasnyaaa!
Pulang ke rumah, aku langsung mencari kipas angin. Sedangkan anakku mencari minuman dingin di kulkas. Kadang juga dia minta mandi sering gerahnya.
Sampai ada Meme, Surabaya itu planet di antara bumi dan matahari. Haha. Saking panasnya!
Ini valid. Temanku dari Medan yang baru saja menginjakkan kakinya di Surabaya mengatakan Surabaya sepanas itu!
Nggak hanya panas Surabaya saja, di Malang yang terkenal kota dingin juga merasakan gelombang panas. Sebagian rumah sudah mulai banyak menggunakan AC karena merasa Malang panas.
Bapakku mengeluhkan hal yang sama. Katanya, Singgahan, tempat asal bapak di kaki gunung Wilis, pun nggak lagi dingin kayak dulu.
Pemanasan Global Menyebabkan Gagal Panen
Keresahanku tak hanya panas saja tetapi juga harga pangan yang semakin naik.
Setiap aku ke pasar kadang aku suka shock sendiri.
Ya Allah kenapa sih tiap ke pasar selalu bikin menghela nafas panjang.
Kadang protes juga. Belanjaku cuma dikit kok tapi duit yang keluar sampai 50rb aja. Kerasa nggak sih kalian? Kenapa bahan2 pada makin mahal yak?
Harga cabe, bawang, tomat naik.
Harga beras juga makin naik. Nyari yang murah tapi kok takuut kualitasnya bikin sebel. Ditambah lagi isu beras oplosan yang menyebalkan.
Salah satu penyebabnya adalah petani gagal panen karena perubahan pola curah hujan dan suhu ekstrem.
Kondisi itu menyebabkan banjir, kekeringan karena intensitas hujan yang tidak sesuai kebutuhan tanaman.
Masalah lainnya pun muncul, saat kembali dari pasar, air PDAM mati! Pas kebetulan juga tandon lagi bocor. Jadi nggak sempat menampung. Bayangkan bagaimana orang-orang di luar sana yang tidak punya tandon dan hanya bergantung pada air PDAM.
Giliran air mengalir, eh airnya kadang keruh. Semua itu membuatku berpikir:
“Kalau begini terus, masa depan bumi yang ditinggali anakku akan seperti apa?”
Sementara aku berjuang di rumah, dunia pun menghadapi masalah serupa. Banjir dan kebakaran hutan di mana-mana, di Kalimantan, di Jawa dan lain-lain. Suhu global mencetak rekor tertinggi setiap tahun.
Bagiku, perubahan iklim bukan sekadar istilah dari berita atau pertemuan global. Aku merasakannya di dapurku sendiri.
Pemanasan Global Mulai Terasa!
Fenomena ini tentu saja bukan kebetulan semata. Kalau secara data, banyak kota sudah mulai merasakan Bumi yang semakin panas.
Mari kita lihat, data perubahan temperatur di Kota Malang dari data berikut:
Mulai tahun 2000-an perubahan suhu di kota Malang semakin lama semakin meningkat alias memanas ditunjukkan dengan tanda bar merah gelap.
Begitu juga di kota Surabaya. Semakin tahun perubahan suhu semakin meningkat bahkan di tahun 2024 terlihat paling tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Pemanasan global ini tentu menjadi salah satu pertanda adanya perubahan iklim yang dirasakan hampir semua kota.
Saat emisi gas rumah kaca menyelubungi Bumi, panas matahari pun terperangkap dan tidak bisa keluar dari atmosfer. Itulah penyebabnya bumi kita terasa panas.
Emisi gas rumah kaca dihasilkan dari–salah satunya–penebangan hutan. Ketika ditebang, pohon melepaskan karbon yang telah disimpan. Di sisi lain, hutan menyerap karbon dioksida. Jika hutan dihancurkan, kemampuan alam untuk melindungi atmosfer dari emisi juga berkurang.
Bukti lain bahwa bumi makin panas adalah salju abadi di Puncak Carstenz, Pegunungan Jayawijaya, semakin berkurang.
Dari gambar itu, kita bisa lihat selama 11 tahun ketinggian salju abadi di pegunungan Jayawijaya semakin menurun hingga 70%.
Dari citra satelit, kita juga bisa lihat perbedaan luasan salju di tahun 2016 dan 2022. Di tahun 2022 masih terlihat hambatan salju. Sementara di tahun 2022, salju hanya terlihat di beberapa titik saja.
Sudah jelas terlihat bahwa pemanasan global itu nyata!
Masih Saja Ada yang Bilang Hoax!
Sayangnya nih, masih saja ada yang mengatakan pemanasan global itu hoax alias berita bohong!
Ah, bagaimana bisa? Apa mereka nggak ngerasain bumi makin panas?
Oh, mungkin mereka nggak pernah ke jalan luar rumah. Sering di dalam rumah pakai AC, naik mobil ber-AC dan di kantor ber-AC.
Bagi kaum mendang-mending kayak aku sih–yang ngga pakai AC di rumah– kerasa banget, hei!
Setelah ditelusuri ternyata petinggi negara di salah satu negara besar dunia juga ngomong perubahan iklim itu hoax!
Apa mereka kurang melihat bukti dampak pemanasan global ini? Cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir, angin puting beliung, kekeringan, kehilangan spesies dan lain sebagainya.
![]() |
| Dampak perubahan iklim: cuaca ekstrim dan banjir |
Penyebaran Disinformasi Perubahan Iklim!
Narasi salah tentang perubahan iklim ini semakin berkembang di banyak media. Pihak-pihak itu sengaja menyebarkan informasi palsu untuk membuat bingung publik dan melemahkan aksi iklim.
Disinformasi perubahan iklim ini menjadi senjata politik untuk tetap melaksanakan kebijakan mereka meskipun merusak lingkungan.
Disinformasi perubahan iklim ini mempermainkan emosi: kemarahan, ketakutan, dan kejutan sebagai langka awal untuk menyerang solusi iklim. Mereka mengatakan terlalu mahal, tidak efektif, atau "ideologis". Bahkan algoritma media sosial sudah dieksploitasi demi mendukung apa yang viral bukan yang benar.
Mereka yang menyebarkan informasi bohong ini pun juga melakukan riset.
Ketika aku sebagai peserta dari Eco Blogger Squad mengikuti online event ClimaColab Session bersama teman-teman dari Brazil untuk membuat konten terkait COP30, ternyata banyak sekali website yang memberikan informasi palsu terkait krisis iklim.
Tapi, kenyataannya disinformasi perubahan iklim ini tidak hanya dilakukan di website saja tapi juga perusahaan-perusahaan yang tidak ingin terlihat merusak lingkungan.
Kebohongan ini menyebar 70% lebih cepat daripada kebenaran. Salah satu pelayanan industri menghabiskan 78 miliar per tahun untuk menyebarkan informasi dan berita palsu.
Ternyata Brazil memang banyak sekali menyebarkan informasi bohong di internet. Sementara paling rendah ada di negara Belanda.
Dan itulah menjadi masalah Brazil juga ketika akan melaksanakan COP30 ini.
Thais Lazzeri dari FALA, salah satu organisasi yang berfokus pada dampak sosial, mengatakan bahwa tak ada tempat untuk kebohongan. Beliau berpikir untuk mencari solusi dan mencari cara berkomunikasi dengan masyarakat mengenai disinformasi yang sudah menyebar.
Disinformasi tentang perubahan iklim ini ada banyak jenis seperti:
- Retorika Antisains. Biasanya perusahaan melakukan retorika untuk menutupi kesalahan mereka agar tidak mengeluarkan pengeluaran yang banyak. Mereka menggunakan spesialis palsu untuk ilmu pengetahuan tertentu.
- Serangan langsung. Di Brazil, cara ini menjadi nomor satu untuk merusak kredibilitas suara-suara dominan untuk suatu tujuan.
- Lobi dan propaganda. Mereka menyebarkan argumen yang sesat di antara politisi untuk mendukung kebijakan publik yang merugikan iklim.
- Astroturfing. Industri pencemar akan membentuk dan mensponsori suatu perkumpulan tapi disamarkan sehingga seolah-olah perkumpulan itu berasal dari gerakan spontan masyarakat.
- Greenwashing. Cara ini merupakan taktik perusahaan agar produk atau layanan tersebut tidak berbahaya bahkan bermanfaat bagi lingkungan dan manusia.
- Woke Washing. Pengambilalihan tujuan oleh perusahaan untuk menutupi kerugian mereka.
Adanya disinformasi tentang perubahan iklim ini yang menyusahkan para pelaku untuk melaksanakan kebijakan perubahan iklim. Sementara Brazil perlu tindakan nyata untuk menyelamatkan Amazon mereka.
Mencapai Kesepakatan Bersama di COP 30
Tahun ini, semua pemimpin dunia tertuju ke Amazon dan Belem, Brasil, tempat diselenggarakannya COP30 (Conference of the Parties ke-30). Pertemuan besar COP 30 di mana para pemimpin dunia, ilmuwan, dan aktivis duduk bersama membahas solusi untuk krisis iklim.
COP memang bukan solusi ilmiah, tetapi bertujuan untuk membuat kesepakatan global untuk menghindari perubahan iklim. Kesepakatannya seperti mengurangi bahan bakar fosil, mengurangi emisi (COP 3), membatasi pemanasan global di bawah 2°C, idealnya hingga 1,5°C (COP 21), mempercepat transisi dari bahan bakar fosil (COP26), Dana Kerugian dan Kerusakan (Loss and Damage Fund)(COP 28).
COP30 menjadi momen penting untuk melihat apakah dunia masih punya harapan atau hanya janji di atas kertas.
COP 30 ini akan dilaksanakan di Brasil dan belum pernah diadakan di Amazon seperti saat COP 1 Brazil.
Di Tengah Gelombang Disinformasi
Sayangnya, tidak semua orang percaya.
Aku sering melihat video di media sosial yang bilang “perubahan iklim itu hoaks”. Ternyata video itu berhasil membuat orang awam sepertiku hampir percaya.
Tapi kalau aku ngerasain sendiri panasnya, airnya kering, sumber pangan naik, hujan makin nggak tentu, banjir karena cuaca ekstrem... masak sih perubahan iklim itu bohong?
Itulah kenapa penting bagi publik untuk tidak mudah termakan disinformasi. Berita palsu tentang iklim bisa membuat orang berhenti peduli, padahal tindakan kecil mereka sangat berarti.
Cara Menghindari Disinformasi
Beberapa cara agar kita tidak tersesat di lautan informasi:
Menyangkal Disinformasi tentang Perubahan Iklim
Sebenarnya ini tak terbatas pada disinformasi perubahan iklim tetapi juga secara keseluruhan.
Banyak sekali informasi-informasi palsu yang beredar di internet. Dan ini memang sangat memengaruhi pikiran masyarakat. Itulah mengapa pentingnya pemerintah untuk meng-cover masalah ini.
Seperti yang ada pada foto di atas bahwa perubahan iklim dianggap hasil konspirasi antara HAARP, CERN, Bluebearn dan WEF. Namun, berita itu kemudian dibantah oleh Kominfo.
Bagaimana Mengenali Disinformasi?
Ada cara untuk mengenali apakah informasi itu benar atau tidak, yaitu:
- Judul SEMUA KAPITAL. Apakah judul ditulis kapital? Jika kapital maka perlu hati-hati dengan informasi tersebut karena bisa jadi itu memuat informasi yang tidak benar.
- Tautan aneh. Pastikan tautan artikel yang menyebarkan informasi tersebut tidak aneh. Pernah baca kan tautan artikel yang tidak dikenal dan namanya aneh-aneh. Ketika di klik pun isinya tidak meyakinkan. Hati-hati bisa saja kita terseret pada informasi yang bohong.
- Konten lama. Bisa saja konten yang diambil itu sudah lama atau di luar konteks. Nah, seringkali kita terkecoh dengan video-video lawas yang beredar. Kelihatannya sangat real dan benar. Ternyata itu tidak valid.
- Gambar yang mengejutkan. Kita harus Periksa dari mana asalnya. Banyak sekali gambar-gambar yang diambil tanpa ada kejelasan sumber dari mana.
Apa kaitannya dengan aku?
Kalau kalian merasa nggak yakin dengan informasi itu benar atau tidak. Lebih baik tidak perlu disebarluaskan.
Apa kaitannya denganku?
Aku tahu bahwa cuaca ekstrem bukan hal biasa. Sumber pangan pokok semakin mahal. Air bersih semakin jarang mengalir.
Hal-hal kecil itu mungkin terlihat sepele. Tapi di balik semua kebijakan besar yang dibahas di COP30, justru aksi kecil jutaan orang sepertiku yang akan membuat perubahan nyata.
Aku nggak bisa datang ke Brasil tapi aku bisa mulai dari rumah.
Penutup – Dari Rumah ke Dunia
Krisis iklim bukan hanya tentang polusi, karbon, atau suhu global. Ini tentang ibu yang khawatir anaknya sakit karena panas, petani yang kehilangan panen, dan keluarga yang kehilangan rumah karena banjir.
COP30 adalah momen global, tapi perubahan sejati dimulai dari hal-hal lokal dari dapur, dari pasar, dari keputusan kecil setiap hari.
COP30 menjadi momentum penting untuk memperbarui komitmen dunia melawan krisis iklim. Namun tanpa kesadaran publik, kebijakan hanyalah janji kosong.
Maka, mari bersama menjadi warga yang peduli, menolak disinformasi, dan memulai perubahan dari rumah kita sendiri.
Jangan sampai disinformasi perubahan iklim ini menyebar dan memengaruhi kebijakan iklim.
Yang paling kerasa sih masyarakat menengah ke bawah karena harga bahan pangan yg naik.
Harapannya, perwakilan negara yang akan mengikuti COP30 bisa menghasilkan komitmen terbaru tentang iklim yang pastinya berdampak dan bisa dilaksanakan di tiap negara.
~ Karena Bumi bukan milik kita saja tapi juga warisan untuk anak-anak kita nanti. ~

.jpeg)










.jpeg)


