Sahabat Cempluk Takkan Biarkan Harapan Pupus Pada Odapus

2 comments
Perundungan di sekolah terhadap siswa yang mengalami penyakit autoimun masih saja terjadi. Ketika penderita autoimun ini masih harus berjuang menjalani pengobatan penyakitnya, alih-alih mendapat dukungan, mereka justru mendapat perundungan di sekolah karena sering sakit dan jarang masuk sekolah. Ditambah lagi banyak yang tidak memahami penyakit yang diderita penyintas autoimun Lupus ini atau Orang dalam Penyakit Lupus (Odapus). 

Odapus
Orang dalam penyakit Lupus yang tetap bahagia (Instagram.com/sahabatcempluk)

Dulu, mereka menjadikan penyakit itu seperti sebuah candaan. 

"Dulu orang mendengar penyakit Lupus, malah ketawa. Lupus? Permen karet dong," ujar Ian Sofyan, pendiri Sahabat Cempluk sekaligus Odapus selama 25 tahun. 

Meskipun pandangan masyarakat tentang Lupus banyak yang berubah dari waktu ke waktu, sampai saat ini masih banyak yang belum tahu apa itu penyakit Lupus dan bagaimana perjuangan penderita Lupus yang harus mereka lewati. 

Masyarakat melihat pengidap Lupus ini seperti orang normal lainnya padahal kalau sedang kambuh, Odapus benar-benar harus istirahat total dan membutuhkan penanganan tenaga medis. Tak hanya perlu bantuan medis dan materi, Odapus juga perlu dukungan moral dari orang sekitar, baik di keluarga, lingkungan rumah maupun di sekolah atau lingkungan kerja.

Rata-rata para Odapus ini merasa rendah diri dan merasa tidak punya harapan untuk meraih cita-cita setelah divonis penyakit Lupus. Para odapus mendapat stigma-stigma negatif tentang penyakit yang diidapnya bahkan hampir di semua lingkungan.

Orang tua mengeluhkan anaknya yang tidak diajak main di lingkungan sekolahnya karena ia tidak bisa jalan akibat kelumpuhan pada tulang-tulangnya. Hal itu sungguh menyedihkan si anak pengidap Lupus dan orang tua.

Curahan Hati Orang Tua pada Komunitas Sahabat Cempluk (instagram.com/sahabatcempluk)


Lain lagi cerita Puput Arya, co-founder Sahabat Cempluk, yang sempat tidak memiliki semangat hidup ketika divonis Lupus di awal perkuliahannya. Ia dijauhi teman-temannya dan tidak diikutsertakan dalam kelompok karena khawatir tugas kuliah tidak akan selesai jika Puput masuk dalam kelompok mereka. Ia pun sempat cuti kuliah selama satu tahun karena lumpuh.

Kisah kain lagi dialami oleh Dinda, seorang siswa di Yogyakarta, yang didiagnosis penyakit Lupus. Beberapa kali dia tidak masuk sekolah karena harus kontrol ke dokter. Ia juga sempat minder dengan perubahan wajah dan tubuhnya setelah konsumsi obat steroid. Dia tidak bisa melakukan aktivitas yang berat atau olah raga di sekolah. Hal itu kadang membuat banyak orang meremehkan Dinda.

Lain lagi yang terjadi pada Novia Ani. Awalnya ia tidak menghiraukan bintik merah yang muncul ketika terkena matahari setelah bermain bola basket bersama temannya karena bintik itu hilang beberapa saat kemudian. Ia juga sempat sakit demam sampai didiagnosis penyakit tipus. Namun, tak lama, ia sakit kembali. Segala macam obat-obatan, ia konsumsi tetapi tak kunjung membaik. Sampai pada suatu hari, ia tidak bisa jalan dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya.

Novia Ani saat Bercerita tentang Pengalamannya Menjadi Odapus di Youtube Sahabat Cempluk

Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, ia divonis mengidap penyakit Lupus di tahun 2012. Penyakit Lupus ini dikenal juga sebagai penyakit 1000 wajah karena gejala penyakitnya hampir sama dengan penyakit lain. Itulah kenapa dari awal, diagnosis pada penyakit Ani banyak yang keliru. 

Setelah berjalannya waktu, Ani diketahui terkena Lupus. Gejala penyakit Lupus memang mirip dengan penyakit lainnya. Namun yang biasa terjadi, gejala Lupus adalah biru lebam pada kulit, rambut rontok dan bercak merah di wajah seperti bentuk kupu-kupu.

Vonis itu membuat dunia Ani terasa runtuh. Seolah ia tak punya lagi harapan hidup. Tak ada lagi semangat untuk melakukan apa pun. 

Penyakit Lupus membuat fisiknya berubah. Akibat konsumsi steroid untuk gangguan sistem kekebalan tubuh, wajahnya lebih cempluk (gemuk, bulat pendek) dan mengalami pengapuran tulang. Kemampuan motorik pada juga menurun. 

Perubahan fisik itu membuat kepercayaan dirinya menurun. Ia memutuskan menunda sekolahnya selama satu tahun. Jeda itu Ani manfaatkan untuk pengobatan dan memulihkan mentalnya yang sempat jatuh.

Nada, teman Ani satu komunitas, yang juga didiagnosis Lupus tahun 2017 mengalami pengapuran tulang akibat autoimun tersebut. Ia harus sering memakai sunblock hingga SPF50. Kalau tidak, kulitnya akan seperti terkena luka bakar. Bahkan kulit yang tertutup pakaian pun masih seperti terkena luka bakar. 

Dulu, Nada sering opname di rumah sakit berbeda hampir setiap bulan selama satu tahun. Sempat dikira mengalami sakit demam berdarah karena mengalami bintik merah, trombosit turun, dan demam. Di rumah, ia sempat tidak bisa bangun selama dua hari.

Sama seperti Nada dan Ani, Anies pun mengalami pengapuran tulang akibat penyakit Lupus yang diidapnya. Ia pernah mengalami patah tulang di kaki setelah adiknya yang masih kecil jatuh ke tubuh Anies. Ia sempat didiagnosis anemia. Namun, ketika wajahnya muncul kemerahan, ia melakukan pemeriksaan autoimun dan divonis terkena Lupus.

Seorang pendiri komunitas Lupus "Sahabat Cempluk" yang bernama Ian Sofyan pun juga divonis Lupus di tahun 2003 meski sudah mengalami sakit sejak tahun 1998. Sejak kecil, Ian Sofyan sudah mengalami indikasi sakit autoimun. 

Saat SD, ia tidak suka pelajaran olahraga. Setiap selesai olahraga, badan Ian sakit semua seperti rematik. Ian juga sering mengalami kulit membiru, mimisan, lebih mudah capek dan sensitif dengan sinar matahari. Namun, saat itu kurang ditanggapi dengan orang dewasa di sekitarnya.

Penyakit autoimun memang membuat pengidapnya terpuruk dan meratapi takdir. Namun, banyak juga yang bisa bangkit dan tetap memiliki motivasi untuk terus maju menggapai mimpi. Di luar sana banyak yang membutuhkan dukungan pada orang-orang yang mengidap Lupus. Dukungan motivasi dan berbagi cerita lebih dibutuhkan pada pasien-pasien Lupus.

Ani menjadi salah satu pengidap lupus yang saat itu masih berstatus siswa di sekolah negeri beruntung bisa menyelesaikan sekolah dengan baik. Sementara di luar sana masih banyak pengidap Lupus yang akhirnya gagal dan tidak melanjutkan sekolah. Banyak dukungan yang diberikan padanya untuk tetap melanjutkan pendidikan. Sementara di tempat lain, perundungan masih saja terjadi bagi siswa yang mengidap penyakit autoimun.

Berdasar pengalaman banyak odapus yang demotivasi dan Ian Sofyan pernah berada di posisi seperti mereka, ia bersama Suliza Miranti, dan Lucia Tyas mendirikan komunitas pendamping orang dalam penyakit Lupus (Odapus) yang bernama Sahabat Kupu pada tahun 2014 yang kemudian berubah menjadi Sahabat Cempluk. 

Cempluk ini dalam bahasa Jawa artinya pipi gemuk (tembem atau chubby) dimana para Odapus ini cenderung memiliki wajah berbentuk moon face atau wajah bulat seperti bulan. Komunitas tersebut merupakan wadah berbagi kisah dan motivasi sesama penderita penyakit Lupus.

Wajah Moon Face Ian Sofyan (instagram.com/sahabatcempluk)

Sahabat Cempluk melakukan pendampingan di rumah sakit dan di keluarga pada orang dalam penyakit Lupus. Mereka yang termotivasi ini menularkan semangatnya kepada pengidap Lupus lainnya melalui komunitas yang diikutinya.

Program Sahabat Cempluk ini tak hanya masalah edukasi mengenai penyakit Lupus, tetapi juga pendampingan. Edukasi ini ditujukan pada pasien, keluarga, dan masyarakat umum. Alasan masyarakat juga perlu diedukasi karena penyintas Lupus juga perlu diberi pemahaman tentang kondisi orang yang terkena penyakit Lupus.

Tak hanya sarana edukasi, Sahabat Cempluk juga melakukan pendampingan pada penyandang Lupus dan keluarga, baik dukungan moril maupun fasilitas pendukung seperti kursi roda, obat, dan lain sebagainya. Pendampingan ini dilaksanakan pada program bernama Tilik dan Konseling. 

Tilik ini adalah program kunjungan para anggota kepada pasien Lupus di rumah sakit. Harapannya, para pengidap Lupus ini bisa saling memotivasi dan memberi semangat dalam menjalani pengobatan. 

Sahabat Cempluk Melakukan Kunjungan Tilik pada Odapus (instagram.com/sahabatcempluk)


Konseling ini merupakan program pendampingan yang memberikan edukasi atau informasi secara tidak langsung melalui media komunikasi maupun secara langsung.

Sahabat Cempluk menjadi wadah bagi penderita Lupus untuk saling berbagi dengan permasalahan yang dimiliki. 

Nada sangat senang bisa bergabung menjadi anggota Sahabat Cempluk. Komunitas itu menjadi tempat bertanya seperti harus bagaimana menjalani hari-hari sebagai pengidap Lupus.

Bagi Anies, Sahabat Cempluk memberikan motivasi baginya untuk tetap berkarya.

“Terus kalau di sini, ketemu sama Sahabat Cempluk dan semuanya tuh, orangnya tuh, apa ya.. kalau menurutku itu bikin motivasi terutama banyak yang berprestasi itu yang di Cempluk itu.. itu yang membuat aku semangat lagi,” kata Anies.

Tak hanya masalah penyakit yang mereka idap, Sahabat Cempluk sering sharing masalah-masalah di luar penyakit mereka seperti saat melamar pekerjaan yang meminta surat keterangan sehat. Dengan bergabung dengan Sahabat Cempluk, para Odapus tidak patah semangat dalam menjalani pengobatan dan meraih cita.

Sahabat Cempluk membuat program Cempluk Goes To School dimana beberapa penyintas Lupus, relawan, dan dokter berkunjung ke sekolah-sekolah untuk memberi pemahaman terkait penyakit Lupus. 

Sekolah-sekolah yang pernah dikunjungi pada program Cempluk Goes To School yaitu SMA Muhammadiyah 1 Sleman tahun 2017, SMK 5 Yogyakarta, SMAN 1 Turi, SDN 1 Bangunrejo di tahun 2019. 

Cempluk goes to school
Cempluk Goes To School (Youtube Sahabat Cempluk)

Saat pandemi Covid-19, Sahabat Cempluk mengadakan Cempluk goes To School melalui zoom meeting di SMK Ma'arif Sudimoro dengan pembicara dari ketua cabang IDAI Yogyakarta.

Ketika ada program Cempluk Goes to School, di kelas, dokter menjelaskan mengenai penyakit Lupus dan bagaimana kondisi orang yang terkena penyakit Lupus. 

Sahabat Cempluk menyampaikan informasi tentang Lupus secara kreatif, menarik dan interaktif baik dengan media animasi, motion grafis, permainan dan media lainnya yang memang dirancang secara khusus.

Semenjak Cempluk Goes to School, Dinda jadi lebih dipedulikan dan ‘dimanja’ oleh teman-temannya. Perhatian teman-teman Dinda jadi lebih besar. Mereka jadi lebih memahami dan pengertian ketika Dinda tidak bisa lama-lama berolahraga dan ikut upacara sebab pasien Lupus tidak bisa terkena sinar matahari langsung. Dinda menjadi lebih semangat lagi bersekolah meski penyakit Lupus masih bersemayam dalam tubuhnya.

Cempluk Goes To School Untuk Meningkatkan Kepedulian Terhadap Odapus (instagram.com/sahabatcempluk)


Kiprah Sahabat Cempluk dengan program Cempluk Goes To School membuat banyak siswa dalam komunitas tersebut bisa menyelesaikan pendidikan mereka hingga bisa masuk ke perguruan tinggi. 

Tak sia-sia mendirikan komunitas, usaha Ian dan kawan-kawan membuahkan hasil. Selain memberikan kebermanfaatan bagi odapus dan keluarga, komunitas Sahabat Cempluk dengan program Cempluk Goes To School meraih penghargaan Satu Indonesia Awards tahun 2021 untuk kategori komunitas kesehatan.

Odapus yang Saling Memberi Semangat dalam Kegiatan di Komunitas (instagram.com/sahabatcempluk)


Cempluk Goes to School memang sangat mempengaruhi semangat hidup para penyintas Lupus. Masyarakat jadi lebih peduli terhadap para odapus.

Harapannya, tak ada lagi perundungan yang terjadi di sekolah pada pelajar pengidap Lupus sehingga para pelajar Odapus tetap semangat untuk menyelesaikan pendidikan mereka dan meraih cita-cita mereka di masa depan.



Sumber :

sahabatcempluk.com
Youtube Sahabat Cempluk
Youtube Malioboro Hitz tentang Bincang Komunitas, Sahabat Cempluk Komunitas Para Penyintas Lupus
Instagram @sahabatcempluk

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

2 komentar

  1. Masya Allah tetap semangat Odapus dan kalian membuktikan jika terus bergerak akan memberikan dampak. Buktinya kak Sofyan dan kawan-kawan bisa dengan Sahabat Cempluk melalui program Cempluk Goes To School berhasil meraih penghargaan Satu Indonesia Awards tahun 2021 untuk kategori komunitas kesehatan. Selamat dan Semangat ya kak menebar kebaikan dimana saja kapan saja.

    BalasHapus
  2. Wah, baru tahu ada komunitasnya. Keren ya, jadi penyintas odapus ada ruang untuk berbagi

    BalasHapus

Follower